Kamis, 27 Januari 2011

MENGENAL SOSOK KH. M HASYIM ASY`ARI

Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari lahir pada hari Selasa, 24 Dzulqa’dah 1287 H, bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871 M di Desa Gedang, satu kilometer sebelah utara Kota Jombang, Jawa Timur. Ayahnya bernama Kiai Asy’ari berasal dari Demak, Jawa Tengah. Ibunya bernama Halimah, puteri Kiai Utsman, pendiri Pesantren Gedang.

KH. M. Hasyim Asy’ari merupakan keturunan kesepuluh dari Prabu Brawijaya VI keturunan kedelapan dari jaka tingkir (raja kesutanan pajang). Mula-mula beliau belajar agama dibawah bimbingan ayahnya sendiri. Otaknya yang cerdas menyebabkan ia lebih mudah menguasai ilmu-ilmu pengetahuan agama, misalnya: Ilmu Tauhid, Fiqih, Tafsir, Hadits dan Bahasa Arab. Karena kecerdasannya itu, sehingga pada umur 13 tahun ia sudah diberi izin oleh ayahnya untuk mengajar para santri yang usianya jauh lebih tua dari dirinya.

Mula-mula Kiai Hasyim menimba ilmu di Pesantren Wonokoyo Probolinggo. Kemudian mendalami ilmu agama ke Pesantren Langitan, Tuban. Dan setelahnya nyantri ke Pesantren Trenggilis, Semarang. Kemudian nyantri lagi di Demangan, Bangkalan di Pulau Garam (Madura) di bawah asuhan Kiai Cholil. Dan mendalami ilmu agama lagi demi memuaskan jiwanya yang haus akan ilmu pengetahuan di Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo) yang di asuh Kiai Ya’qub inilah, Kiai Hasyim semacam benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kiai Ya’qub dikenal sebagian ulama’ berpandangan luas cukup alim dalam beragama, cukup lama Kiai Hasyim menimba ilmu di Pesantren Siwalan, dalam kurun waktu sekitar 5 tahun Kiai Hasyim menimba ilmu di Pesantren Siwalan.

Kemauan yang keras untuk mendalami ilmu agama, menjadikan diri Muhammad Hasyim sebagai musafir pencari ilmu. Selama bertahun-tahun berkelana dari pondok satu ke pondok yang lain. Pada tahun 1892 KH. Hasyim Asy’ari pergi menimba ilmu ke Mekah, bahkan beliau bermukim di Makkah selama bertahun-tahun dan berguru kepada ulama-ulama Makkah yang termasyhur pada saat itu, seperti: Syekh Muhammad Khatib Minangkabau, Syekh Nawawi Banten dan Syekh Mahfudz At Tarmisi, Syekh Ahmad Amin Al-Aththar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said Yamani, Syekh Rahmatullah, Syekh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As-Saqqaf, dan Sayyid Husein Al-Habsyi. Muhammad Hasyim adalah murid kesayangan Syekh Mahfudz, sehingga beliau juga dikenal sebagai ahli hadits dan memperoleh ijazah sebagai pengajar Shahih Bukhari. Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor, Malaysia dan mengajar di sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy'ari mendirikan pesantren di Tebuireng, Jombang.

Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi dari gurunya, Syekh Mahfudh at-Tarmisi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru kepada Syekh ternama asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syekh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau. Kepada dua guru besar itu pulalah Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru. Dalam hal tarekat, Hasyim tidak menganggap bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya, ia berpesan agar ummat Islam berhati-hati bila memasuki kehidupan tarekat.

Pada tahun 1926 bersama K.H. Abdul Wahab Hasbullah dan sejumlah ulama lainnya di Jawa Timur, Kyai Hasyim memprakarsai lahirnya Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Sejak awal berdirinya, Kyai Hasym dipercayakan memimpin organisasi itu sebagai Rois Akbar. Jabatan ini dipegangnya dalam beberapa periode kepengurusan.
Setelah NU berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat. Terbukti, pada l937 ketika beberapa ormas Islam membentuk badan federasi partai dan perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal dengan sebuta MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) Kiai Hasyim diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah memimpin Masyumi, partai politik Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia.
KH. M. Hasyim Asy’ari adalah seorang ulama yang luar biasa. Hampir seluruh kiai di Jawa mempersembahkan gelar “Hadratus Syekh” yang artinya “Maha Guru” kepadanya, karena beliau adalah seorang ulama yang secara gigih dan tegas mempertahankan ajaran-ajaran madzhab. Dalam hal madzhab, beliau memandang sebagai masalah yang prinsip, guna memahami maksud sebenarnya dari Al Quran dan Hadits. Sebab tanpa mempelajari pendapat ulama-ulama besar khususnya Imam Empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali, maka hanya akan menghasilkan pemutar balikan pengertian dari ajaran Islam itu sendiri. Penegasan ini disampaikan beliau dihadapan para ulama peserta Muktamar NU III, September 1932 dan penegasan itu kemudian dikenal sebagai “Muqaddimah Qonun Asasi Nahdlatul Ulama”.

Dalam rangka mengabdikan diri untuk kepentingan umat, maka KH. M. Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren Tebuireng, Jombang pada tahun 1899 M. Pengabdian Kiai Hasyim bukan saja terbatas pada dunia pesantren, melainkan juga pada bangsa dan negara. Sumbangan beliau dalam membangkitkan semangat nasionalisme dan patriotisme pada saat jiwa bangsa sedang terbelenggu penjajah, tidaklah bisa diukur dengan angka dan harta. Memang cukup sulit mengelompokkan mana yang pengabdian terhadap agama, dan yang mana pula pengabdian beliau terhadap bangsa dan negara. Sebab ternyata kedua unsur itu saling memadu dalam diri Kiai Hasyim. Di satu pihak beliau sebagai pencetak ribuan ulama atau kiai di seluruh Jawa, di lain pihak belaiu seringkali ditemui tokoh-tokoh pejuang nasional seperti Bung Tomo maupun Jenderal Soedirman guna mendapatkan saran dan bimbingan dalam rangka perjuangan mengusir penjajah.

Diceritakan oleh H. Abu Bakar Atjeh dalam Sejarah Hidup KH Abdul Wahid Hasyim bahwa pada tahun 1937 datang seorang amtenar tinggi penguasa Belanda menjumpai Kyai Hasyim untuk menyampaikan tanda kehormatan pemerintah Belanda kepadanya berupa bintang emas. Dengan tegas Kyai HAsyim menolak pemberian itu karena khawatir keikhlasan hatinya beramal akan ternoda oleh hal-hal yang bersifat materiil. Tidak mudah meluluhkan cita-cita Kyai Hasyim sebab ia adalah Ulama yang berpendirian teguh, pantang mundur.

Pada masa revolusi fisik melawan penjajah Belanda tersebut, KH Hayim Asy’ari dikenal karena ketegasannya terhadap penjajah dan seruan Jihadnya yang menggelorakan para santri dan masyarakat Islam. Beliau mengajak mereka untuk berjihad melawan penjajah dan menolak bekerja sama dengan penjajah.

Demikian pula halnya di masa pemerintahan Jepang. Pada tahun 1942, tatkala penguasa Jepang menduduki Jombang, KH Hasyim ditangkap dan dimasukkan kedalam tahanan. Lalu diasingkan ke Mojokerto untuk ditawan bersama-sama sengan serdadu-serdadu sekutu. Berbulan-bulan ia mendekam dalam penjara tanpa mengetahui kesalahan apa yang dituduhkan atas dirinya.


Pada tanggal 7 Ramadlan 1366 bertepatan dengan tanggal 25 Juli 1947, KH.M. Hasyim Asy’ari berpulang ke Rahmatullah. Atas jasa beliau, pemerintah Indonesia menganugerahi gelar “Pahlawan Nasional” (SK Presiden RI No.294 Tahun 1964, tgl 17 Nop 1964).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar