Jumat, 18 Februari 2011
Kamis, 27 Januari 2011
Islam Dalam Masyarakat yang Berkebudayaaan
Agama dan budaya merupakan dua unsur penting dalam masyarakat yang saling mempengaruhi. Ketika ajaran agama masuk dalam sebuah komunitas yang berbudaya, akan terjadi tarik menarik antara kepentingan agama di satu sisi dengan kepentingan budaya di sisi lain. Demikian juga halnya dengan agama Islam yang diturunkan di tengah-tengah masyarakat Arab yang memiliki adat-istiadat dan tradisi secara turun-temurun. Mau tidak mau dakwah Islam yang dilakukan Rasulullah harus selalu mempertimbangkan segi-segi budaya masyarakat Arab waktu itu. Bahkan, sebagian ayat al-Qur’an turun melalui tahapan penyesuaian budaya setempat.
Proses adaptasi antara ajaran Islam (wahyu) dengan kondisi masyarakat dapat dilihat dengan banyaknya ayat yang memiliki asbâb al-nuzûl. Asbâb al-nuzûl merupakan penjelasan tentang sebab atau kausalitas sebuah ajaran yang diintegrasikan dan ditetapkan berlakunya dalam lingkungan sosial masyarakat. Asbâb al-nuzûl juga merupakan bukti adanya negosiasi antara teks Al-Qur’an dengan konteks masyarakat sebagai sasaran atau tujuan wahyu.
Hubungan antara agama dengan kebudayaan merupakan sesuatu yang ambivalen. Agama (Islam) dan budaya mempunyai independensi masing-masing, tetapi keduanya memiliki wilayah yang tumpang-tindih. Di sisi lain, kenyataan tersebut tidak menghalangi kemungkinan manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya.
Pada perkembangan selanjutnya terdapat perbedaan pendapat di kalangan umat Islam tentang hasil dari proses dialog tersebut. Sebagian berpendapat rumusan ketetapan dianggap sebagai ajaran final yang harus diterapkan di semua lapisan ummat Islam, sedangkan pendapat lain mengemukakan bahwa yang final bukanlah hasil dari proses dialog, tetapi nilai dasar yang ingin disampaikan dari ayat yang bersangkutan. Sehingga sangat mungkin terjadi perbedaan aplikasi dari ketentuan yang sudah ada. Hal ini karena masing-masing umat Islam memiliki budaya yang berbeda, hasil akhirnya ditentukan oleh kreatifitas masyarakat dalam mendialogkan kebudayaan mereka dengan ajaran agama yang diyakininya
Di sisi lain terdapat pendapat bahwa Islam tidak identik dengan Arab, sehingga tidak semua yang berbau Arab adalah Islam. Harus dibedakan antara Islam sebagai agama dan Arab sebagai budaya. Di sinilah perlunya memilah antara mana yang merupakan ajaran dasar Islam dan mana yang telah berakulturasi dengan budaya Arab. Islam adalah agama universal sehingga ajarannya harus bisa diterapkan di manapun dan pada waktu kapan pun.
Atas dasar inilah, pemikiran akulturasi Islam dengan budaya lokal dan relasi ajaran agama (Islam) dengan nilai-nilai lokal muncul termasuk di Indonesia. Allah SWT menciptakan manusia dalam kemajemukan yang terdiri atas suku, bangsa dan tersebar di berbagai tempat. Kemajemukan tersebut melahirkan adat dan tradisi yang sangat beragam. Namun demikian manusia dibekali software yang tidak diberikan kepada makhluk lain, yaitu akal. Dengan akal inilah manusia menjadi makhluk yang sangat terhormat dan diharapkan bisa menjadi khalifah di muka bumi serta mampu menciptakan kreasi-kreasi baru yang membawa kemaslahatan bagi sesama. Dengan kesempurnaan yang dimilikinya, Allah SWT ‘menaruh harapan’ bahwa mereka mampu melakukan yang terbaik di muka bumi. Semua itu sebagai amanah Allah SWT yang harus kita manifestasikan untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah Yang Maha Esa.
Masyarakat Indonesia memiliki beragam adat dan tradisi yang berbeda dengan negara-negara lain, bahkan dari satu daerah ke daerah yang lain. Beragamnya agama, bahasa dan budaya adalah keniscayaan dalam konteks keindonesiaan. Ketika masuk ke Indonesia lewat Walisongo, Islam begitu ramah menyapa umat. Tidak ada tindakan anarkis dan frontal melawan tradisi. Kelihaian Walisongo mengakomodasi budaya setempat ke dalam ajaran-ajaran Islam, menampakkan hasil yang luar biasa. Para masyarakat yang sebelumnya menjadi penganut kuat ajaran dinamisme dan animisme, pelan-pelan berbondong-bondong menghadiri majelis-majelis yang diselenggarakan Walisongo. Mereka hadir bukan karena dipaksa, tapi karena sadar bahwa ajaran Islam sangat simpatik dan ‘patut’ diikuti.
Itu hasil kreasi yang patut diapresiasi. Islam adalah agama yang mampu berakumulasi, bahkan hampir bisa dikatakan tak pernah bermasalah dengan budaya setempat. Bahkan budaya bisa didesain ulang atau dimodifikasi dengan tampilan yang elegan menurut syara’ dan lebih berdayaguna demi meningkatkan kasejahteraan hidup. Dengan demikian, kehadiran Islam di tengah masyarakat, dimanapun dan sampai kapanpun, akan selalu menjadi rahmatan lil alamin. Adat atau tradisi yang dimaksud di sini adalah adat yang tumbuh dan berkembang disuatu komunitas dan hal itu –secara prinsip- tidak terdapat dalam ritual syariah Islam, baik pada masa Rasulullah SAW. Adat atau tradisi semacam ini adalah sah-sah saja dan tak masalah. Tentunya dengan catatan, adat atau tradisi tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai luhur Islam, mempunyai tujuan mulia dan disertai niat ibadah karena Allah SWT. Dalam Kaidah fikih dikatakan, “al-Adah Muhakkamah ma lam yukhalif al-Syar'” (Tradisi itu diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan dasar-dasar syariah).
Sahabat Abdullah bin Abbas mengatakan: “Setiap sesuatu yang umat Islam menganggap baik, maka menurut Allah baik juga, dan yang mereka anggap buruk, maka buruk juga manurut Allah” (Diriwayatkan Al-Hakim). Ia juga berpesan: “Sesungguhnya Allah melihat hati hambanya, selalu ditemukan hati Muhammad SAW, sebaik-baiknya hati hambanya, lalu memilihnya untuk-Nya, dan mengutusnya. Lalu melihat hati hambanya selain Muhammad, dan ditemukan beberapa hati sahabatnya, lalu menjadikannya menteri bagi nadi-Nya. Setiap suatu yang umat Islam menganggap baik, maka menurut Allah baik juga, dan yang mereka anggap buruk, maka buruk juga menurut Allah” (Diriwayatkan oleh Ahmad)
Dalam Hasiyah as-Sanady disebutkan, “Bahwa sesungguhnya sesuatu yang mubah (tidak ada perintah dan tidak ada larangan) bisa menjadi amal ibadah selama disertai niat baik. Pelakunya mendapatkan imbalan pahala atas amal tersebut sebagaimana pahalanya orang-orang yang beribadah”. (Hasiyah as-Sanady, Jilid 4, hal.368).
Imam Syafi’i memberikan batasan ideal tentang adat atau tradisi ini, menurutnya, selama adat atau tradisi itu tidak bertentangan dengan dasar-dasar syariat, itu hal terpuji. Artinya, agama memperbolehkannya. Sebaliknya, jika adat atau tradisi tersebut bertentangan dengan dasar-dasar syariat, hal itu dilarang dalam Islam. Menurut Imam Syafi’i yang dinukil oleh Baihaqi dalam kitabnya Manakip As Syafi’i lil Baihaqi: Hal baru (bid’ah) terbagi menjadi 2 (dua) macam. Adakalanya hal baru itu bertentangan dengan Al-Qur'an, as-Sunnah, al-Atsar, atau ijma Ulama. Itulah bid’ah yang tercela. Sedangkan hal baru yang tidak bertentangan dengan dasar-dasar agama tersebut adalah bid’ah yang terpuji. (Fathul Bari, karya Ibn Hajar, jilid 20, hal:330).
Dengan cara mengisi seluruh elemen budaya dam kehidupan dengan nilai-nilai Islam tanpa harus mengilangkan dan merubah budaya tersebut, menyebabkan Islam bisa diterima dengan mudah oleh masyarakat. Implikasi logis dari model dakwah tersebut, yakni terjadinya akulturasi Islam dengan budaya lokal. Selain karena proses akulturasi budaya akomodatif tersebut, menurut Ibnu Kholdun, juga karena kondisi geografis seperti kesuburan dan iklim atau cuaca yang sejuk dan nyaman yang berpengaruh juga terhadap perilaku penduduknya.
Islam sebagai entitas yang hidup dan dinamis, ia terus berkembang, baik karena perjalanan usianya maupun karena persentuhannya dengan berbagai budaya dan tradisi. Islam harus didefinisikan berdasarkan suara umat Islam itu sendiri sesuai dengan konteks budayanya masing-masing. Dialektika yang dinamis selalu terjadi antara Islam dalam kategori universal-normatif dengan lokalitas-historis di mana dia hidup.
Corak keberislaman di Indonesia yang masih mewarisi produk Islamisasi para pendakwah di masa lampau yang dilakukan para ‘wali’ itu masih terus dilestarikan sebagai ekspresi ke-Islam-an di satu sisi dan ekspresi lokalitas di sisi yang lain.
Pada dasarnya Islam merupakan agama yang bersikap akomodatif, selektif, dan proporsional dalam merespons tradisi lokal. Akomodatif yang dimaksud adalah bahwa Islam dibenarkan menerima tradisi lokal, namun ia juga selektif dalam arti bahwa tidak semua tradisi lokal diakomodasi, tetapi tradisi lokal yang ‘baik’ saja (al-qadîm al-shâlih) yang mungkin diterima. Sementara penerimaannya pun harus proporsional.
Sikap akomodatif ini pula yang telah mengantarkan umat Islam sebagai komunitas terbesar di Indonesia. Tanpa sikap akomodatif seperti ini gesekan dan benturan dalam interaksi sosial di Indonesia akan terasakan begitu kuat. Sikap kontradiktif terhadap budaya lokal akan bertentangan dengan watak sosiologis dan geografis yang lebih memberikan peluang dan potensi besar terhadap terbentuknya sikap yang akomodatif. Semoga Islam di Indonesia akan tetap berkembang selama masih membawakan kesejukan bagi kehidupan masyarakatnya(*).
Wallahul Muwafiq Ilaa Aqwamit Thariq
MENGENAL SOSOK KH. M HASYIM ASY`ARI
Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari lahir pada hari Selasa, 24 Dzulqa’dah 1287 H, bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871 M di Desa Gedang, satu kilometer sebelah utara Kota Jombang, Jawa Timur. Ayahnya bernama Kiai Asy’ari berasal dari Demak, Jawa Tengah. Ibunya bernama Halimah, puteri Kiai Utsman, pendiri Pesantren Gedang.
KH. M. Hasyim Asy’ari merupakan keturunan kesepuluh dari Prabu Brawijaya VI keturunan kedelapan dari jaka tingkir (raja kesutanan pajang). Mula-mula beliau belajar agama dibawah bimbingan ayahnya sendiri. Otaknya yang cerdas menyebabkan ia lebih mudah menguasai ilmu-ilmu pengetahuan agama, misalnya: Ilmu Tauhid, Fiqih, Tafsir, Hadits dan Bahasa Arab. Karena kecerdasannya itu, sehingga pada umur 13 tahun ia sudah diberi izin oleh ayahnya untuk mengajar para santri yang usianya jauh lebih tua dari dirinya.
Mula-mula Kiai Hasyim menimba ilmu di Pesantren Wonokoyo Probolinggo. Kemudian mendalami ilmu agama ke Pesantren Langitan, Tuban. Dan setelahnya nyantri ke Pesantren Trenggilis, Semarang. Kemudian nyantri lagi di Demangan, Bangkalan di Pulau Garam (Madura) di bawah asuhan Kiai Cholil. Dan mendalami ilmu agama lagi demi memuaskan jiwanya yang haus akan ilmu pengetahuan di Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo) yang di asuh Kiai Ya’qub inilah, Kiai Hasyim semacam benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kiai Ya’qub dikenal sebagian ulama’ berpandangan luas cukup alim dalam beragama, cukup lama Kiai Hasyim menimba ilmu di Pesantren Siwalan, dalam kurun waktu sekitar 5 tahun Kiai Hasyim menimba ilmu di Pesantren Siwalan.
Kemauan yang keras untuk mendalami ilmu agama, menjadikan diri Muhammad Hasyim sebagai musafir pencari ilmu. Selama bertahun-tahun berkelana dari pondok satu ke pondok yang lain. Pada tahun 1892 KH. Hasyim Asy’ari pergi menimba ilmu ke Mekah, bahkan beliau bermukim di Makkah selama bertahun-tahun dan berguru kepada ulama-ulama Makkah yang termasyhur pada saat itu, seperti: Syekh Muhammad Khatib Minangkabau, Syekh Nawawi Banten dan Syekh Mahfudz At Tarmisi, Syekh Ahmad Amin Al-Aththar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said Yamani, Syekh Rahmatullah, Syekh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As-Saqqaf, dan Sayyid Husein Al-Habsyi. Muhammad Hasyim adalah murid kesayangan Syekh Mahfudz, sehingga beliau juga dikenal sebagai ahli hadits dan memperoleh ijazah sebagai pengajar Shahih Bukhari. Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor, Malaysia dan mengajar di sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy'ari mendirikan pesantren di Tebuireng, Jombang.
Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi dari gurunya, Syekh Mahfudh at-Tarmisi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru kepada Syekh ternama asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syekh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau. Kepada dua guru besar itu pulalah Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru. Dalam hal tarekat, Hasyim tidak menganggap bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya, ia berpesan agar ummat Islam berhati-hati bila memasuki kehidupan tarekat.
Pada tahun 1926 bersama K.H. Abdul Wahab Hasbullah dan sejumlah ulama lainnya di Jawa Timur, Kyai Hasyim memprakarsai lahirnya Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Sejak awal berdirinya, Kyai Hasym dipercayakan memimpin organisasi itu sebagai Rois Akbar. Jabatan ini dipegangnya dalam beberapa periode kepengurusan.
Setelah NU berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat. Terbukti, pada l937 ketika beberapa ormas Islam membentuk badan federasi partai dan perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal dengan sebuta MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) Kiai Hasyim diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah memimpin Masyumi, partai politik Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia.
KH. M. Hasyim Asy’ari adalah seorang ulama yang luar biasa. Hampir seluruh kiai di Jawa mempersembahkan gelar “Hadratus Syekh” yang artinya “Maha Guru” kepadanya, karena beliau adalah seorang ulama yang secara gigih dan tegas mempertahankan ajaran-ajaran madzhab. Dalam hal madzhab, beliau memandang sebagai masalah yang prinsip, guna memahami maksud sebenarnya dari Al Quran dan Hadits. Sebab tanpa mempelajari pendapat ulama-ulama besar khususnya Imam Empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali, maka hanya akan menghasilkan pemutar balikan pengertian dari ajaran Islam itu sendiri. Penegasan ini disampaikan beliau dihadapan para ulama peserta Muktamar NU III, September 1932 dan penegasan itu kemudian dikenal sebagai “Muqaddimah Qonun Asasi Nahdlatul Ulama”.
Dalam rangka mengabdikan diri untuk kepentingan umat, maka KH. M. Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren Tebuireng, Jombang pada tahun 1899 M. Pengabdian Kiai Hasyim bukan saja terbatas pada dunia pesantren, melainkan juga pada bangsa dan negara. Sumbangan beliau dalam membangkitkan semangat nasionalisme dan patriotisme pada saat jiwa bangsa sedang terbelenggu penjajah, tidaklah bisa diukur dengan angka dan harta. Memang cukup sulit mengelompokkan mana yang pengabdian terhadap agama, dan yang mana pula pengabdian beliau terhadap bangsa dan negara. Sebab ternyata kedua unsur itu saling memadu dalam diri Kiai Hasyim. Di satu pihak beliau sebagai pencetak ribuan ulama atau kiai di seluruh Jawa, di lain pihak belaiu seringkali ditemui tokoh-tokoh pejuang nasional seperti Bung Tomo maupun Jenderal Soedirman guna mendapatkan saran dan bimbingan dalam rangka perjuangan mengusir penjajah.
Diceritakan oleh H. Abu Bakar Atjeh dalam Sejarah Hidup KH Abdul Wahid Hasyim bahwa pada tahun 1937 datang seorang amtenar tinggi penguasa Belanda menjumpai Kyai Hasyim untuk menyampaikan tanda kehormatan pemerintah Belanda kepadanya berupa bintang emas. Dengan tegas Kyai HAsyim menolak pemberian itu karena khawatir keikhlasan hatinya beramal akan ternoda oleh hal-hal yang bersifat materiil. Tidak mudah meluluhkan cita-cita Kyai Hasyim sebab ia adalah Ulama yang berpendirian teguh, pantang mundur.
Pada masa revolusi fisik melawan penjajah Belanda tersebut, KH Hayim Asy’ari dikenal karena ketegasannya terhadap penjajah dan seruan Jihadnya yang menggelorakan para santri dan masyarakat Islam. Beliau mengajak mereka untuk berjihad melawan penjajah dan menolak bekerja sama dengan penjajah.
Demikian pula halnya di masa pemerintahan Jepang. Pada tahun 1942, tatkala penguasa Jepang menduduki Jombang, KH Hasyim ditangkap dan dimasukkan kedalam tahanan. Lalu diasingkan ke Mojokerto untuk ditawan bersama-sama sengan serdadu-serdadu sekutu. Berbulan-bulan ia mendekam dalam penjara tanpa mengetahui kesalahan apa yang dituduhkan atas dirinya.
Pada tanggal 7 Ramadlan 1366 bertepatan dengan tanggal 25 Juli 1947, KH.M. Hasyim Asy’ari berpulang ke Rahmatullah. Atas jasa beliau, pemerintah Indonesia menganugerahi gelar “Pahlawan Nasional” (SK Presiden RI No.294 Tahun 1964, tgl 17 Nop 1964).
Rabu, 26 Januari 2011
UCAPAN SELAMAT HARLAH UNTUK INDUK
Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU)
Universitas Lampung
Mengucapkan;
Selamat Harlah NU Ke-85
Semoga Dengan Umur Yang Hampir Menginjak Satu Abad, NU Dapat Menjadi Organisasi Keagamaan Yang Konsisten Dalam Memperjuangkan Kemaslahatan Umat Dan Senantiasa Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
Jumat, 14 Januari 2011
TELAH HADIR
PABM (Pemulihan Adiksi Berbasis Masyarakat)
Syifaul Ummah NU Lampung
Sebuah pusat rehabilitasi pengguna narkoba dan ketergantungan obat, dan lembaga pencegahan HIV AIDS, CVT, STI, dan PMTCT, yang menyediakan layanan rujukan untuk VCT, terapi methadone dan terapi penyembuhan dengan metode tradisional , agama, dan layanan VCT. Selain itu, PABM Syifaul Ummah NU Lampung juga menyediakan jasa layanan konseling untuk perubahan perilaku dengan meningkatkan kesadaran dan mencari pemecahan untuk mengurangi kecanduan dan akhirnya berhenti, dengan dua konselor berpengalaman, yaitu dr. Achmad Farich, MM. dan Dr. Abdul Syukur, M.Ag.
Bagi anda-anda yang memiliki saudara ataupun teman penasun, Insya Allah dengan senang hati dan ke-Ikhlasan, kami siap membantu. Alamat kami berada di Jl. RA. Basyid No 4, Labuhan Dalam, Tanjung Senang, Bandar Lampung. CP; 081379906110. Semoga Bermanfaat, Amin.
Qoulu syeikhul ulama
Bertaubat bagi manusia adalah perkara wajib
Namun meninggalkan segala dosa itu lebih wajib
Perubahan pada masa adalah suatu yang menakjubkan
Namun Lalainya manusia dari semua itu lebih menakjubkan
Bersabar tatkala musibah datang adalah perkara sulit (bagi hati)
Namun berlalunya pahala begitu saja lebih sulit (bagi hati)
Segala sesuatu yang engkau harapkan adalah dekat
Namun datangnya kematian itu adalah lebih dekat
(Imam Syafi`i)
MENGEMBANGKAN KONSEP ISLAM RAHMATAN LIL ‘ALAMIN
Agama Islam yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW diperuntukkan bagi seluruh umat manusia pada umumnya. Oleh sebab itu, Islam dikenal sebagai agama yang bersifat universal. Sebagaimana firman Allah SWT di dalam Al Qur’an : “Wamaa arsalnaka illa rohmatan lil ‘alamin” Yang artinya :” Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (Q.S. Al Anbiya’ : 107).
Dalam konteks Islam rahmatan lil'alamin , Islam telah mengatur tata hubungan menyangkut aspek teologis, ritual, sosial, dan humanitas. Dalam segi teologis, Islam memberi rumusan tegas yang harus diyakini oleh setiap pemeluknya. Namun, hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk memaksa non-Muslim memeluk Islam (la ikraha fi al-din). Begitu halnya dalam tataran ritual yang memang sudah ditentukan operasionalnya dalam Alquran dan hadis. Namun, dalam konteks sosial, Islam sesungguhnya hanya berbicara mengenai ketentuan-ketentuan dasar atau pilar-pilarnya saja, yang penerjemahan operasionalnya secara detail dan komprehensif tergantung pada kesepakatan dan pemahaman masing-masing komunitas, yang tentu memiliki keunikan berdasarkan keberagaman lokalitas nilai dan sejarah yang dimilikinya.
Entitas Islam sebagai rahmat lil'alamin mengakui eksistensi pluralitas karena Islam memandang pluralitas sebagai sunnatullah, yaitu fungsi pengujian Allah pads manusia, fakta sosial, dan rekayasa sosial (social engineering) kemajuan umat manusia.
Agama Islam yang mengandung ajaran yang sempurna untuk dijadikan pedoman hidup manusia untuk menggapai keselamatan, kedamaian, kemakmuran, kesejahteraan baik di dunia maupun di akhirat, itulah misi Nabi Muhammad mengajarkan Islam kepada umat manusia. Kemakmuran disini bukan hanya ditujukan kepada manusia semata namun untuk seluruh makhluk yang ada di alam semesta ini yakni manusia, tumbuh-tumbuhan, binatang, alam dan lingkungan sekitar, serta semua makhluk ciptaan Allah. Oleh karena itu untuk mencapai itu semua harus memperhatikan kembali aspek hubungan antara manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia, serta hubungan manusia dengan alam. Karena dalam mengarungi kehidupan di dunia ini sudah pasti terdapat suatu hubungan atau interaksi.
Hubungan Manusia dengan Allah SWT.
Salah satu dasar hubungan antara manusia dengan Allah SWT adalah suatu keyakinan manusia itu sendiri terhadap Allah SWT sebagai Robb semesta alam. Hubungan vertikal antara manusia dengan Allah SWT harus dilandasi sebuah keimanan bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Tuhan tempat mengadu, bergantung dan tempat memohon pertolongan. Pada hakikatnya semua manusia di dunia ini membutuhkan Tuhan untuk ketentraman hati dan keselamatan jiwa. Sebagai umat Islam dasar keimanan terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al-Ikhlas: “Qul huwallahu ahad, Allahush shomad, Lam yalid walam yuulad walam yakullahu kufuan ahad”.
Yang artinya : “ Katakan, bahwa Dia-lah Allah Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.” (Q.S. Al- Ikhlas : 1-4).
Keyakinan seseorang kepada Allah akan memberikan ketenangan dalam hidup manusia. Keyakinan atau keimanan inilah yang akan membawa manusia ke dalam ketaqwaan. Ketaqwaan manusia dapat mengalami pasang surut, sehingga ketaqwaan inilah yang harus senantiasa ditingkatkan. Pemaknaan keimanan itu sendiri adalah meyakini dalam hati, mengikrarkan dengan lisan (ucapan) dan diamalkan dengan tindakan dan perbuatan, tentunya dengan melaksanakan semua perintah Allah SWT dan menjauhi semua larangan-larangan-Nya.
Hubungan Manusia dengan Manusia lainnya.
Manusia dalam kesehariannya sudah tentu berhubungan dan berinteraksi dengan manusia lainnya karena manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Sehingga hubungan antar manusia itu diatur dalam Al Qur’an dan Hadist agar tercipta keharmonisan, ketentraman dan kedamaian dalam kehidupannya. Hal ini diatur dalam firman Allah SWT :“Wa’tashimu bihablillahi jami’awwalaa tafarroqu, wadzkuru ni’matallahi ‘alaikum idzkuntum a’daa am fa allafa baina quluubikum faashbahtum bini’mati ikhwanan, ….. “
Yang artinya : “Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu berceraiberai dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara.” ( Q.S.Ali Imron : 103)
Dalam hidup ini harus senantiasa berpegang teguh pada ajaran-ajaran agama Islam yang benar. Dan sesama muslim kita senantiasa menghormati perbedaan yang terjadi. Kita tidak boleh menuduh seseorang sebagai orang kafir, munafiq, atau mengejek sesama muslim karena perbedaan itu. Tetapi apabila ada dari saudara kita sesama muslim yang menyimpang dari ajaran Islam kita harus mengajaknya untuk kembali kejalan yang benar (amar ma’ruf nahi mungkar).
Namun dalam hal aqidah kita harus sama yakni mengakui bahwa hanya Allah-lah yang patut kita sembah. Sesama muslim harus bersatu dan saling tolong menolong dalam kebaikan. Dalam pelaksanaan secara teknisnya dalam bermuamalah terdapat 3 macam yaitu :
Pertama, ukhuwah Islamiyah (persaudaraan antarumat Islam). Sejarah peradaban Islam diwarnai oleh perbedaan corak pandang keberagamaan, baik domain teologi, hukum, maupun spiritualitas. Kedua, ukhwah wathaniyah (persaudaraan antarbangsa). Kerja sama antarbangsa mesti dijalin sebaik mungkin dalam rangka menuju perdamaian dan kesejahteraan dunia. Hubungan bangsa-bangsa ini tanpa membedakan latar belakang agama bangsa tersebut. Demarkasi kultural, teologis, dan struktural, pada wilayah ini musti didialogkan dan diupayakan pola relasi saling menguntungkan satu dan lainnya.
Ketiga, ukhuwah basyariyah atau insaniyah (persaudaraan antarmanusia). Persaudaraan antar sesama manusia yakni kita senantiasa berlaku baik pada setiap manusia karena derajat kita sama dihadapan Allah kecuali iman dan taqwa yang membedakannya. Islam menganggap bahwa seluruh umat manusia, tanpa harus membedakan suku, ras, warna kulit, bahkan agama, adalah saudara yang harus dilindungi dan saling melindungi. Islam mengharamkan penganiayaan terhadap orang lain di luar Islam dan meniscayakan hormat-menghormati dan sifat toleransi.
Ketiga macam ukhuwah ini harus diwujudkan secara berimbang menurut porsinya masing-masing. Satu dengan lainnya tidak boleh dipertentangkan. Melalui tiga dimensi ukhuwah inilah, Islam rahmatan lil 'alamin (pemberi rahmat alam semesta) akan terealisasi. Sebab, ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathaniyah merupakan landasan dan hal yang fundamental bagi terwujudnya ukhuwah insaniyah . Oleh karena itu, baik sebagai umat Islam maupun bangsa Indonesia, kita harus memerhatikan ukhuwah Islamiyah, ukhuwah insaniyah , dan ukhuwah wathaniyah secara serius, saksama, dan penuh kejernihan. Dalam hidup bertetangga dengan orang lain, bukan famili, bahkan non-Muslim atau non-Indonesia, kita diwajibkan berukhuwah dan memuliakan mereka dalam arti kerja sama yang baik selama mereka tidak menginjak dan menyakiti atau mengajak perang.
Hubungan Manusia dengan Alam
Perlakuan manusia terhadap alam tersebut dimaksudkan untuk memakmurkan kehidupan di dunia dan diarahkan untuk kebaikan akhirat. Di sini berlaku upaya berkelanjutan untuk mentransendensikan segala aspek kehidupan manusia. Sebab akhirat adalah masa depan eskatologis yang tak terelakkan. Kehidupan akhirat dicapai dengan sukses kalau kehidupan manusia benar-benar
fungsional dan beramal shaleh (al-Baqarah, 62; al-A’ashr).
Kearah semua itulah hubungan manusia dengan alam ditujukan. Dengan sendirinya cara-cara memanfaatkan alam, memakmurkan bumi dan menyelenggara-kan kehidupan pada umumnya juga harus bersesuaian dengan tujuan yang terdapat dalam hubungan antara manusia dengan alam tersebut. Cara-cara itu dilakukan untuk mencukupi kebutuhan dasar dalam kehidupan bersama. Melalui pandangan ini haruslah dijamin kebutuhan manusia terhadap pekerjaan, nafkah dan masa depan, maka jelaslah hubungan manusia dengan alam merupakan hubungan pemanfaatan alam untuk kemakmuran bersama (al Mu’minun, 17-22; al-Hajj,65). Hidup bersama antar manusia berarti hidup antar kerjasama, tolong menolong dan tenggang rasa (Abasa, 17-32; an-Naazi’aat, 27-33).
Mengenal Lebih Dekat Syeikh Abdul Qodir Jailani
Sulthanul Auliya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani Rahimahullah, (bernama lengkap Muhyi al Din Abu Muhammad Abdul Qadir ibn Abi Shalih Al-Jailani) adalah seorang imam yang zuhud dari kalangan sufi. Beliau lahir tahun 470 H di Baghdad. Silsilah Syekh Abdul Qodir bersumber dari Khalifah Sayyid Ali al-Murtadha r.a ,melalui ayahnya sepanjang 14 generasi dan melaui ibunya sepanjang 12 generasi. Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al Ghazali. Di Baghdad beliau belajar kepada beberapa orang ulama seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein al Farra’ dan juga Abu Sa’ad al Muharrimi. Belaiu menimba ilmu pada ulama-ulama tersebut hingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama. Dengan kemampuan itu, Abu Sa’ad al Mukharrimi yang membangun sekolah kecil-kecilan di daerah Babul Azaj menyerahkan pengelolaan sekolah itu sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Ia mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim di sana sambil memberikan nasihat kepada orang-orang di sekitar sekolah tersebut. Banyak orang yang bertaubat setelah mendengar nasihat beliau. Banyak pula orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang menimba ilmu di sekolah beliau hingga sekolah itu tidak mampu menampung lagi.
Syeikh Abdul Qadir al Jailani adalah seorang yang diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh para syeikh, ulama, dan ahli zuhud. Ia banyak memiliki keutamaan dan karamah. Syeikh Abdul Qadir al Jailani Rahimahullah memiliki pemahaman yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma’rifat yang sesuai dengan sunnah.
Syeikh Ibnu Qudamah sempat tinggal bersama beliau selama satu bulan sembilan hari. Kesempatan ini digunakan untuk belajar kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani sampai beliau meninggal dunia. (Siyar A’lamin Nubala XX/442).
Syeikh Ibnu Qudamah ketika ditanya tentang Syeikh Abdul Qadir menjawab, ”Kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa kehidupannya. Ia menempatkan kami di sekolahnya. Ia sangat perhatian terhadap kami. Kadang beliau mengutus putra beliau yang bernama Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Ia senantiasa menjadi imam dalam salat fardhu.”
Beliau adalah seorang yang berilmu, beraqidah Ahlu Sunnah, dan mengikuti jalan Salaf al Shalih. Belaiau dikenal pula banyak memiliki karamah. Tetapi, banyak (pula) orang yang membuat-buat kedustaan atas nama beliau. Kedustaan itu baik berupa kisah-kisah, perkataan-perkataan, ajaran-ajaran, tariqah (tarekat/jalan) yang berbeda dengan jalan Rasulullah, para sahabatnya, dan lainnya. Di antaranya dapat diketahui dari pendapat Imam Ibnu Rajab.
Syeikh Abdul Qadir berkata, ”Seorang Syeikh tidak dapat dikatakan mencapai puncak spiritual kecuali apabila 12 karakter berikut ini telah mendarah daging dalam dirinya.
1. Dua karakter dari Allah yaitu dia menjadi seorang yang sattar (menutup aib) dan ghaffar (pemaaf).
2. Dua karakter dari Rasulullah SAW yaitu penyayang dan lembut.
3. Dua karakter dari Abu Bakar yaitu jujur dan dapat dipercaya.
4. Dua karakter dari Umar yaitu amar ma’ruf nahi munkar.
5. Dua karakter dari Utsman yaitu dermawan dan bangun (tahajjud) pada waktu orang lain sedang tidur.
6. Dua karakter dari Ali yaitu alim (cerdas/intelek) dan pemberani.
Masih berkenaan dengan pembicaraan di atas dalam bait syair yang dinisbatkan kepadanya dikatakan:
Bila lima perkara tidak terdapat dalam diri seorang syeikh maka ia adalah Dajjal yang mengajak kepada kesesatan.Dia harus sangat mengetahui hukum-hukum syariat dzahir, mencari ilmu hakikah dari sumbernya, hormat dan ramah kepada tamu, lemah lembut kepada si miskin, mengawasi para muridnya sedang ia selalu merasa diawasi oleh Allah.
Syeikh Abdul Qadir juga menyatakan bahwa Syeikh al Junaid mengajarkan standar al Quran dan Sunnah kepada kita untuk menilai seorang syeikh. Apabila ia tidak hafal al Quran, tidak menulis dan menghafal Hadits, dia tidak pantas untuk diikuti. Ali ra. bertanya kepada Rasulallah SAW, "Wahai Rasulullah, jalan manakah yang terdekat untuk sampai kepada Allah, paling mudah bagi hambanya dan paling afdhal di sisi-Nya. Rasulallah berkata, "Ali, hendaknya jangan putus berzikir (mengingat) kepada Allah dalam khalwat (kontemplasinya)". Kemudian, Ali ra. kembali berkata, "Hanya demikiankah fadhilah zikir, sedangkan semua orang berzikir". Rasulullah berkata, "Tidak hanya itu wahai Ali, kiamat tidak akan terjadi di muka bumi ini selama masih ada orang yang mengucapkan 'Allah', 'Allah'. "Bagaimana aku berzikir?" tanya Ali. Rasulallah bersabda, "Dengarkan apa yang aku ucapkan. Aku akan mengucapkannya sebanyak tiga kali dan aku akan mendengarkan engkau mengulanginya sebanyak tiga kali pula". Lalu, Rasulallah berkata, “Laa Ilaaha Illallah” sebanyak tiga kali dengan mata terpejam dan suara keras. Ucapan tersebut di ulang oleh Ali dengan cara yang sama seperti yang Rasulullah lakukan. Inilah asal talqin kalimat Laa Ilaaha Illallah. Semoga Allah memberikan taufiknya kepada kita dengan kalimat tersebut.
Syeikh Abdul Qadir berkata, ”Kalimat tauhid akan sulit hadir pada seorang individu yang belum di talqin dengan zikir bersilsilah kepada Rasullullah oleh mursyidnya saat menghadapi sakaratul maut”.
Karena itulah Syeikh Abdul Qadir selalu mengulang-ulang syair yang berbunyi: Wahai yang enak diulang dan diucapkan (kalimat tauhid) jangan engkau lupakan aku saat perpisahan (maut).
Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Syeikh Abdul Qadir menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baghdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpin anak kedua Syeikh Abdul Qadir, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Baghdad pada tahun 656 H/1258 M. Syeikh Abdul Qadir juga dikenal sebagai pendiri sekaligus penyebar salah satu tarekat terbesar didunia bernama Tarekat Qodiriyah.
Sabtu, 01 Januari 2011
Langganan:
Postingan (Atom)